Sandur merupakan jenis kesenian teater tradisional yang sangat terkenal di wilayah sekitar, dikemas dalam bentuk drama tari yang mengambil cerita lokal. Meskipun terkesan sederhana, teater ini memiliki daya tarik yang kuat di masyarakat.
Berdasarkan konsep yang ada, kesenian ini bukan hanya sekadar hiburan. Melainkan juga sebagai medium untuk menjaga kebersamaan dalam komunitas serta melestarikan nilai-nilai kearifan lokal yang telah ada sejak lama.
Kesenian Sandur dan Masyarakat Agraris
Kesenian ini sarat dengan nilai-nilai yang mengajarkan budi pekerti, tolong-menolong, serta tenggang rasa. Dalam setiap pertunjukannya, nilai edukatif, moral, religius, dan seni hadir secara bersamaan. Tema yang diangkat dalam pertunjukan Sandur sering kali terkait dengan pertanian, menggambarkan proses mulai dari mengolah tanah hingga memanen hasil.
Sebagai warisan budaya, Sandur tumbuh dalam aktivitas sosial masyarakat agraris. Ketika masyarakat lelah bekerja di sawah, mereka mengadakan pertunjukan sebagai bentuk hiburan. Seiring waktu, pertunjukan ini berkembang menjadi suatu ritual yang mengandung unsur mistis, dengan cerita yang berfungsi untuk menyampaikan kepercayaan dan nilai-nilai luhur.
Ritual dalam Pertunjukan Sandur
Pertunjukan Sandur biasanya diadakan di tanah lapang, sebagai ungkapan syukur atas hasil panen. Meskipun tidak terdapat catatan pasti tentang asal usulnya, legenda di dalam masyarakat menyebutkan bahwa Sandur telah ada sejak zaman kerajaan, berkaitan erat dengan kepercayaan animisme.
Dalam setiap pementasannya, berbagai persiapan ritual dilakukan. Sesaji yang disiapkan meliputi beras, dupa, dan bunga sebagai simbol penghormatan kepada roh halus. Penggunaan tata cahaya untuk menambah nuansa mistis dengan obor juga menjadi bagian penting dari pertunjukan. Durasi Sandur bervariasi, bisa berlangsung antara tiga hingga lima jam, sering kali digelar pada malam hari hingga menjelang subuh.
Jumlah pemain dalam pertunjukan ini sekitar 20 hingga 25 orang, dengan berbagai peran yang masing-masing memiliki tugas tertentu. Misalnya, terdapat pemain musik, peran tokoh, dan juga seorang pawang. Pemilihan tokoh yang melibatkan anak laki-laki belum dikhitan memiliki makna tertentu, menunjukkan kemurnian dan kepolosan.
Instrumen musik yang digunakan juga memiliki peran penting dalam menciptakan suasana. Tembang yang dinyanyikan berfungsi sebagai narasi dan pemanggil roh, mengaitkan pertunjukan dengan unsur spiritual yang menjadi bagian dari budaya masyarakat.
Berbagai karakter dalam Sandur ditampilkan melalui kostum yang khas, mencerminkan sifat dan peran masing-masing. Kesenian ini terdiri dari beberapa adegan yang dibagi menjadi tiga babak, dengan pergantian adegan ditandai oleh tembang, menambah keindahan dan keselarasan pertunjukan.
Penggunaan bahasa dalam Sandur juga menarik, karena mencakup bahasa Jawa Ngoko dan Krama. Dalam pementasan, sering terdapat pepatah yang disampaikan oleh para pemain, memberikan pesan moral dan nasihat kepada penonton.
Pepatah-pepatah tersebut menyiratkan bahwa hidup sebagai makhluk sosial sangat penting untuk saling menghargai dan membutuhkan satu sama lain, sejalan dengan pokok ajaran yang diperkenalkan melalui pertunjukan ini.
Dengan demikian, Sandur tidak hanya menggambarkan kehidupan pertanian tradisional, tetapi juga mengajarkan beragam nilai kemanusiaan dan kearifan lokal yang perlu dilestarikan. Masyarakat sangat tergantung pada pertunjukan ini sebagai sumber pendidikan, hiburan, sekaligus ritual yang penuh makna.
Secara keseluruhan, kesenian Sandur mencerminkan kehidupan sehari-hari masyarakat agraris dengan beragam dinamika yang dihadapi, mulai dari kelahiran hingga kematian. Kesenian ini adalah jendela ke dalam budaya dan tradisi yang harus terus diperhatikan dan dilestarikan untuk generasi mendatang.