Wisata Sendang Gemuntur di Desa Senori, Kecamatan Merakurak, Kabupaten Tuban, dulunya digagas sebagai salah satu wahana air terkemuka. Namun, kini kondisi yang terlihat sangat berbeda, dengan pemandangan yang sangat memprihatinkan. Seharusnya, lokasi ini menjadi salah satu primadona pariwisata, tetapi justru saat ini terlihat terabaikan dan sepi.
Pembangunan Wisata Sendang Gemuntur awalnya diharapkan dapat mendongkrak ekonomi lokal dan menarik lebih banyak wisatawan. Berbagai sumber dana telah digelontorkan, termasuk kontribusi sebesar Rp205 juta dari program tanggung jawab sosial perusahaan serta Alokasi Dana Desa senilai Rp240 juta. Semua ini ditujukan untuk merealisasikan impian menjadi salah satu daya pikat wisata di Tuban.
Perkembangan Proyek Wisata dan Tantangannya
Proyek ini bahkan mendapatkan tambahan dana CSR hingga tiga kali, totalnya hampir mencapai angka yang sama pada tahap awal hingga tahun 2022. Dalam satu tahun, Festival Tongklek dan Sholawatan meriah digelar untuk meresmikan tempat wisata ini, menandai kebangkitan harapan dari warga. Namun, optimisme itu tak berlangsung lama, dan kawasan wisata ini kembali sepi hanya dalam beberapa waktu setelahnya.
Di lokasi, sekarang terlihat bahwa jembatan bambu yang dulunya membentang di tengah sendang kini hilang, dan kios yang semula ramai dikunjungi pengunjung juga sudah tak ada lagi. Hal ini menciptakan kesan bahwa kawasan ini ditinggalkan tanpa perawatan yang tepat. Seorang warga setempat menyampaikan bahwa proyek ini sepertinya kurang memenuhi ekspektasi masyarakat. Menurutnya, daya tarik utama sendang hanyalah air bersih yang dulunya sangat berguna bagi warga.
Analisis terhadap Pengelolaan dan Dampaknya
Saat membandingkan jumlah dana yang dikeluarkan dengan hasil yang diperoleh, jelas terlihat bahwa terdapat kesenjangan yang signifikan. Selain itu, ada masalah lain yang menjadi sorotan, yakni status lahan. Meskipun ground sendang adalah milik desa, area parkir dan food court justru merupakan tanah sewaan, menambah kerumitan pengelolaannya.
Kepala Desa Senori menjelaskan bahwa pengelolaan wisata ini menjadi masalah karena kelompok sadar wisata tidak mampu mengelola sumber daya yang ada dengan baik. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) masih berfungsi, namun setelah pengelolaan diserahkan kepada Pokdarwis, permasalahan mulai muncul. Ia menegaskan bahwa dana yang digunakan murni berasal dari CSR, dan desa hanya bertugas pada aspek pengawasan saja.
Sementara itu, kontainer-kontainer UMKM yang awalnya ada juga sudah dialihfungsikan menjadi bak sampah, yang merupakan bagian dari program CSR yang berbeda. Kepala Desa juga mengaku tidak mengetahui secara mendalam mengenai jumlah total dana CSR yang telah disalurkan, merekomendasikan pihak media untuk melakukan konfirmasi lebih lanjut kepada BUMDes.
Ketua BUMDes setempat belum memberikan komentar resmi terkait permasalahan yang ada, dan upaya komunikatif dengan Community Development Officer juga belum menghasilkan tanggapan yang memadai. Ini menunjukkan bahwa ada sejumlah tantangan dalam manajemen dan pelibatan antara stakeholder yang berbeda dalam proyek ini.