Keberanian dan Ketekunan di Tengah Kesulitan – Wasimen dan Wanti adalah sepasang suami istri dari Desa Tegal Peron Kecamatan Kerek yang mengandalkan pekerjaan mereka sebagai pemulung di tempat pembuangan sampah. Kehidupan yang penuh tantangan ini sudah mereka jalani selama bertahun-tahun, dan pada Jumat (10/06/2022), mereka berbagi cerita tentang bagaimana mereka bertahan di tengah kerasnya kehidupan yang mengharuskan mereka berjuang setiap hari.
Selama 15 tahun, Wasimen dan Wanti mengabdikan hidupnya untuk mengambil rongsokan di tempat pembuangan sampah yang terletak di daerah Mondokan Kecamatan Tuban. Mereka mengaku tidak memiliki pilihan lain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. “Saya tiap hari disini kok. Ini tadi juga baru datang, saya sudah 15 tahun di sini,” ungkap Wasimen saat ditemui di lokasi.
Kehidupan Sehari-hari sebagai Pemulung
Wanti menjelaskan bahwa mereka tidak memiliki pekerjaan lain yang bisa menunjang kehidupan mereka. Dengan empat anak dan satu cucu, mereka menggantungkan harapan pada keahlian mereka dalam mengumpulkan barang-barang bekas. Hal ini membawa kita pada sebuah pertanyaan mendasar: Apa yang mendorong seseorang untuk terjun ke dalam pekerjaan seperti ini? Dalam banyak kasus, pilihan ini adalah hasil dari keterpaksaan dan mencari solusi terbaik di keadaan terburuk.
Saat menjelaskan tentang rutinitas sehari-harinya, Wanti mengatakan bahwa ia sering membawa anak bungsunya yang masih berusia 5 tahun ke tempat pembuangan sampah. Ini menunjukkan betapa dekatnya pekerjaan ini dengan kehidupan keluarganya. “Anak saya yang pertama sudah menikah dan punya anak, sementara yang terakhir ini masih kecil,” tuturnya. Pengalaman sehari-hari mereka di tempat tersebut menciptakan pandangan yang lebih luas tentang dinamika keluarga dalam menghadapi kesulitan.
Dari Tempat Sampah Menjadi Sumber Rejeki
Pemandangan yang kontras dan memprihatinkan terlihat saat Wasimen mencoba membangun tempat berteduh sederhana dari plastik yang diikatkan dengan sepeda motornya. Tempat berteduh ini menjadi simbol perjuangan mereka melawan cuaca buruk dan ketidakpastian penghasilan. Mereka memulai aktivitas mengais rejeki dari pukul 15.00 WIB hingga 23.00 WIB. Hasil dari barang-barang yang mereka kumpulkan tidak serta merta dijual, namun harus dipilah terlebih dahulu untuk mendapatkan nilai yang lebih tinggi.
“Biasanya saya nunggu orang buang sampai jam 11 malam. Kalau belum ada yang buang, ya saya tunggu,” pungkasnya. Proses pemilahan ini adalah langkah penting, dimana tidak semua barang dapat langsung dijual tanpa dipilih. Ini menunjukkan sisi lain dari industri rongsokan yang sering luput dari perhatian: dibalik itu terdapat keahlian dan ketekunan.
Melihat realitas yang dihadapi Wasimen dan Wanti, kita bisa memahami bahwa pekerjaan sebagai pemulung bukan sekadar mencari barang bekas, tetapi juga menghadapi tantangan sosial dan ekonomi. Dalam konteks yang lebih luas, hal ini memicu perbincangan tentang perlunya perhatian dan dukungan terhadap kelompok minoritas dan mereka yang terpinggirkan.
Dalam kesimpulan yang mengharukan, perjalanan hidup sepasang suami istri ini menjadi cerminan dari semangat juang manusia. Mereka tidak hanya bertahan hidup, tetapi juga menciptakan cara untuk mendidik anak-anaknya tentang kerja keras dan ketekunan. Tanpa diragukan lagi, mereka adalah pahlawan dalam cara mereka sendiri, yang tidak hanya mencari rejeki, tetapi juga membangun masa depan di tengah keterbatasan.