Tradisi sedekah bumi atau yang kerap disebut dengan “Manganan” merupakan ritual tradisional yang sudah dilaksanakan secara turun-temurun. Aktivitas ini dimaksudkan sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Event sedekah bumi ini dikenal dengan nama ‘Kenduri Sedekah Bumi’, dilaksanakan di Area Makam Syeh Maulana Iskhak Al Maghribi di Desa Gedongombo, Kecamatan Semanding, dan diikuti oleh setidaknya 14 Rukun Tetangga (RT). Momen ini terjadi pada tanggal 7 Juli 2022.
Sejarah dan Makna Sedekah Bumi
Tradisi sedekah bumi memiliki akar sejarah yang dalam di masyarakat. Menurut Slamet Riyadi, Kepala Lingkungan Dusun Dondong, tradisi ini tidak bisa dilepaskan dari identitas warga setempat. Di Desa Gedongombo, khususnya di Dusun Dondong, sedekah bumi adalah momen di mana seluruh masyarakat berkumpul untuk merayakan. “Masyarakat merasa bangga menghidupkan tradisi ini,” ujarnya.
Acara ini bukan hanya sekadar seremonial, namun juga mengandung makna spiritual dan kultural yang mendalam. Selama bertahun-tahun, tradisi ini diharapkan dapat terus berlanjut untuk generasi mendatang. Selain itu, rangkaian kegiatan yang dilaksanakan juga menampilkan penghormatan kepada leluhur dan simbolis rasa syukur atas hasil bumi yang telah diperoleh.
Kegiatan Rangkaian Kenduri dan Dukungan Masyarakat
Rangkaian kegiatan sedekah bumi ini dimulai pada hari Rabu, 6 Juli 2022, dengan prosesi Tahlil dan Pengajian. Kegiatan tersebut dilanjutkan dengan Kenduri Sedekah Bumi dan diakhiri dengan pagelaran wayang kulit sepanjang malam, menampilkan Dalang Ki Buntas Pradoto dari Tambakboyo. Penampilan wayang kulit ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat, menambah kemeriahan suasana.
Puji Prasetyo, Wakil Ketua Yayasan Syeh Maulana Iskhak Al Maghribi, menekankan pentingnya pelestarian tradisi ini. “Budaya yang telah ada selama ribuan tahun ini harus terus dilestarikan agar anak cucu kita tahu dan paham nilai-nilai yang terkandung di dalamnya,” ungkapnya. Setiap warga yang hadir biasanya membawa makanan dari rumah, seperti nasi, lauk, kue, dan lain-lain. Makanan ini kemudian dikumpulkan dan dibagikan kembali, menegaskan prinsip berbagi yang ada dalam tradisi ini.
Banyak warga yang merasa antusias dan menyatakan bahwa turut berpartisipasi dalam tradisi ini memberikan kebahagiaan. “Saya bawa ember yang ditutup kain berisi nasi, lauk pauk, dan kue cucur. Sebagian ditaruh di sini (dihimpun), dan sisanya dibawa pulang,” jelas salah satu warga. Tujuannya agar makanan yang dibawa dapat dinikmati bersama keluarga sembari mendoakan kesehatan dan keselamatan.
Acara ini tidak hanya sekedar ritual, tetapi juga menjadi sarana untuk mempererat hubungan antar warga. Antusiasme yang tampak tahun demi tahun menunjukkan bahwa masyarakat sangat menghargai dan merasa memiliki tradisi ini. Momen kebersamaan ini memberikan semangat bagi setiap individu untuk terus melanjutkan warisan budaya yang telah ada.